Friday, October 9, 2009

Abdullah ibn Umar - Sahabat Rasul, Sahabat Malam

Friday, October 9, 2009 0

Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini: berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan perang. Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.

"Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk Madinah. Yang paling kukhawatirkan ada tiga orang: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.

"Adapun Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun Abdullah ibn Zubair, kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini sebenarnya terlalu sibuk dengan urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik urusan akhiratnya ini, maka ia akan membiarkan urusan duniamu."

Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu sedang jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian orang tergoda memperolehnya. Maka para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan mempertegas dirinya sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan tinggi.

Ibn Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia pulang, dan bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka," begitulah diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga istri Rasul, Hafshah, keesokan harinya.

Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda, ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru, akan menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering salat malam dan banyak melakukannya. Semenjak itulah, sampai meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik ketika mukim atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan salat, membaca Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.

Soal ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun." Maka Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.

Pada kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS 83:-6 yang maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran. Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam, "yauma yaquumun naasu lirabbil 'alamiin", ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air matanya bercucuran, sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak menangis.

Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila ia mendnegar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas butiran air bening meluncur dari sudut matanya.

Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.

Dermawan. Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.

Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya. Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya? "Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali ia sudah tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu, Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab keluarga Ibn Umar.

Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara berutang."

Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran mengundang jamuan makan untuk kalangan hartawan. "Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang kelaparan."

Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya, terutama kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan harapan mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.

Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".

Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.

"Apakah antum tak hendak menaati perintahku?"

"Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu ada tiga macam: pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan ketiga, yang berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada antum agar dibebaskan dari jabatan itu."

Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan kadi yang takwa dan salih.

Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara sahabat Rasulullah masih banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan sampai berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas memegangnya.

Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq, adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika mendapat serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah. Dalam keadaan terluka parah, sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang akan menggantikan engkau?"

"Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk dia sebagai pengganti." Salah satu sahabat berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah Abdullah ibn Umar."

"Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu. Apa yang kau harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal mengenai umat Muhamad saw ini."

Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali lagi para sahabat menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun memberi nama-nama calon itu. "Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan orang yang kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela kepada orang-orang ini, dan orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."

Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih, tapi tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai mendorong terpilihnya Usman ibn Affan dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak perempuan Rasulullah SAW.

Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar kerap dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang jabatan kadi yang kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.

Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.

Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan penduduk Madinah.

Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.

Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan sunni.

Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.

Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj menyetop pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang yang sudah pikun."

Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.

Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara’ dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.


Menghindari Jabatan, Antikekerasan

Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.

Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbai’at kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan daku." Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa pun bubar.

Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar.

"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau."

"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar heran.

"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."

"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."

Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."

"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"

"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."

"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku."

Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.

"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa." Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.

Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat’, akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan’, akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya’ aku katakan: tidak!"

Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.

Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193, perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.

Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha illallah"?

Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan kenegaraan karena sifatnya memang senang menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun yang terlarang. Wallahu’alam.

Panji No. 39 Th.III 12 Januari 2000, Last Revised : Rabu, 25 Mei 2100

Sumber:

http://www.geocities.com/ahmad_dir/sahabat/abdumar.html

Abdullah Ibnu Rawahah - Penyair dan Panglima Islam

Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari dua belas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar (penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah Al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam. Maka salah seorang dari utusan yang dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.

Dan pada tahun berikutnya, Rasulullah saw membai'at lagi tujuh puluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at itu.

Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdullah bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagallah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulis baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar.

Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"

Jawab Abdullah, "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan." Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:

"Wahai putera Hasyim yang baik,
Sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia,
Dan memberimu keutamaan,
Di mana orang tak usah iri.


Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu,
Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.


Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka,
Dan memecahkan persoalan ,
Tiadalah mereka hendak menjawab atau membela.


Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda bawa,
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa."

Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya, "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah."

Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:

"Oh Tuhan,
Kalaulah tidak karena Engkau,
Niscaya tidaklah kami akan mendapat petunjuk,
Tidak akan bersedeqah dan Shalat!


Maka mohon diturunkan sakinah atas kami,
Dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.


Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami,
Bila mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang."

Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.

Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya, "Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat." (QS Asy-Syu'ara: 224). Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya, "Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya." (QS Asy-Syu'ara: 227)

Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan, "Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"

Ia juga menyorakkan teriakan perang, "Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikan akan ditemui pada Rasulnya."

Dan datanglah waktunya perang Muktah. Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam. Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah. Ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya:

"Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman,
Keampunan dan kemenangan di medan perang,
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan,
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan,
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan,
Mati syahid di medan perang!"

Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang, pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia!

Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang Muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar dua ratus ribu orang! Karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung akhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya!

Orang-orang Islam melihat jumlah mereka yang sedikit, lalu terdiam dan sebagian ada yang menyeletuk berkata, "Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi."

Tetapi Ibnu Rawahah, bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap, "Kawan-kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah. Kita tidak memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah! Ayohlah kita maju! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenangan atau syahid di jalan Allah!"

Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah!"

Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya. Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.

Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusul pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Di kala itu ia memungut panji perang dari tangan kanannya Ja'far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah di antara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.

Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara Romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:

"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga,
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga...
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati,
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti...
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini,
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati!
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada)
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati!"

Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya. Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalanannya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid.

Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya, "Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku, 'Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!'" "Benar engkau, ya Ibnu Rawahah! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah!"

Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam, Rasulullah saw sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi terdiam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata, "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid... Kemudian diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula..." Beliau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya, "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya iapun syahid pula."

Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula, "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga."

Perjalanan manalagi yang lebih mulia …
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula …

Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi, "Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……"

Sumber : Buku Rijal Haular Rasul (Khalid Muh.Khalid)

Thursday, October 8, 2009

Istiqomah, itulah kuncinya!

Thursday, October 8, 2009 0

Habib Abdulkadir bin Ahmad Assegaf, cucu dan kholifah Umar bin SegafPencetak para quthb. Barangkali demikianlah gelar yang pantas disematkan kepada Al-Habib Umar bin Segaf Assegaf. Bayangkan saja, dengan tangan dinginnya Al-Habib Umar bin Segaf berhasil mendidik dan mencetak ulama-ulama besar dan bahkan para wali quthb. Diantaranya adalah Al-Habib Hasan bin Sholeh Albahr, Al-Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith dan Al-Habib Mumammad bin Abdullah bin Qithban.

Berikut adalah wasiat yang ia tulis untuk kedua muridnya yang notabene masih kakak beradik yang pernah “mondok” kepadanya, yaitu Al-Habib Thahir dan Al-Habib Abdullah bin Husein bin Thahir.

Sesungguhnya seseorang akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar di dunia dan akhirat apabila ia melakukan tiga hal. Pertama, menghindari pergaulan dengan orang-orang yang tidak berilmu. Kedua, meninggalkan majelis-majelis yang tidak bermanfaat dan cenderung membuang waktu dengan percuma. Ketiga, tidak terpengaruh dan terbawa dengan gaya hidup orang-orang zaman sekarang yang telah meninggalkan Al-Qur’an.

Maka, mengasingkan diri (uzlah) dari pergaulan awam adalah solusi yang paling tepat bagi siapa saja yang ingin selamat dari kerusakan zaman, disertai dengan niat yang baik dan ikhlas.

Sesungguhnya membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan khusuk dan tadabbur (menghayati maknanya) sambil menggali rahasia-rahasianya yang penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan adalah hiburan yang hakiki disamping sebagai simpanan pahala yang melimpah tentunya. Demikian juga dengan mempelajari hadits-hadits Nabi SAW serta kalam-kalam para ulama salaf yang telah sampai pada maqam “yaqin”. Semua itu akan mempertebal iman kita dan menghapus segala keraguan, prasangka-prasangka buruk dan kebimbangan kita akan kebenaran Allah, serta akan mengantarkan kita untuk lebih dekat kepada Allah SWT.

Setiap umat Islam diwajibkan menuntut ilmu dalam situasi dan kondisi apapun. Adapun mengajarkan ilmu dan berdakwah, itu hanya diwajibkan kepada orang-orang yang telah berkompeten segi keilmuannya dan sesuai kapasitasnya masing-masing. Dan mereka akan mendapatkan keutamaan dan pahala yang besar dengan syarat mereka harus melakukan empat hal. Pertama, selalu berusaha untuk ikhlas demi Allah. Kedua, menghormati orang yang belajar kepadanya dan beranggapan bahwa ia merupakan karunia dan amanat dari Allah SWT. Ketiga, senantiasa mensyukuri ilmunya sebagai nikmat istimewa yang dikaruniakan kepadanya. Keempat, selalu berharap kepada Allah agar “profesi”-nya sebagai pengajar kelak menjadi bukti kebaikannya dan menyebabkan ia mendapatkan ridho-Nya.

Sesungguhnya seseorang yang menghiasi lahiriyahnya dengan taqwa dan meneguhkan hatinya dengan sidq (iman yang kokoh) kepada Allah, kemudian ia selamat dari sikap ujub (bangga diri atas semua amalnya) dan membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran nafsu, maka niscaya ia akan berhasil sampai ke tujuan, yakni memperoleh segala kemurahan Allah. Dan ketahuilah, tingkatan tersebut pada hakekatnya takkan mampu diraih seorang pun kecuali dengan kemurahan dan taufik Allah SWT. Adapun manusia harus berdoa dan berusaha dengan memperbanyak sholat, bacaan Al-Qur’an, istighfar serta dzikir-dzikir yang lain disertai rasa takut (khosyah) dan pengagungan (ta’dhim).

Maka bertaqwalah kepada Allah baik dikala kamu sendirian maupun diantara khalayak ramai. Amalkanlah semua ajaran yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an, hadits-hadits nabi SAW serta kitab-kitab para salaf soleh. Dan beristiqomahlah di dalam berusaha mendapatkan ridho Allah. Ambil dan kerjakanlah amalan-amalan kesunnahan nabi yang sekiranya nantinya kamu mampu untuk beristiqomah mengerjakannya, disertai dengan niat ikhlas, kehadiran hati dan prasangka baik.

Sesungguhnya Nur Ilahi akan kita dapatkan apabila kita beristiqomah membaca Al-Qur’an disertai sikap hormat dan adab yang baik, menghayati makna-maknanya, dan merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Bacalah wirid-wirid yang sekiranya kamu mampu beristiqomah membacanya. Seperti hizb Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad, hizb imam Nawawi, dan hizb Albahr. Perbanyaklah melantunkan shalawat kepada nabi besar SAW serta mengucapkan istighfar.

Sesungguhnya sumber dari segala kebaikan adalah prasangka baik kepada Allah SWT dan makhluk-Nya. Maka berinteraksilah dengan makhluk Allah dengan akhlak yang baik. Berikan semua hak-hak mereka tanpa ada perasaan terpaksa. Sesungguhnya masing-masing dari mereka telah mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT. Dan sumber dari segala kesialan adalah kebodohan. Maka bersyukurlah kepada Allah apabila kita dikeluarkan dari jurang kebodohan. namun janganlah menganggap diri kita lebih pintar dari siapa saja. Karena sesungguhnya Allah akan merahmati hamba-hamba-Nya yang taat dengan rahmat-Nya

Sesungguhnya urusan dunia dan akhiratmu tergantung baik tidaknya agamamu. Maka ambillah sedikit saja dari dunia dengan niat yang baik, niscaya itu akan membantumu untuk sampai kepada Allah. Berdakwahlah dan ajaklah manusia menuju jalan Allah dengan sikap bijak dan ucapan-ucapan yang bagus ( kalimat ini adalah izin dan perintah dari Al-Habib Umar kepada Al-Habib Thahir dan Al-Habib Abdullah untuk menyebarkan ilmu dan berdakwah). Mintalah kepada Allah agar selalu mendapatkan hidayah. Sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang ia kehendaki.

Sumber:

http://www.forsansalaf.com/2009/istiqomah-itulah-kuncinya/

 
Tokoh Islam ◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates